Selasa, 15 November 2016

PENGERTIAN DAN TUJUAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)

PENGERTIAN DAN TUJUAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
 


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Manajemen Berbasis Sekolah
Pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Manajemen Pendidikan Islam
Semester 6 Kelompok 4
DISUSUN OLEH KELOMPOK  I

Danial
NIM: 02133206
Yusnali Yusuf
NIM: 02133083
Muh. Saifuddin Sarjun
NIM: 02133043


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE

2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sistem manajemen pendidikan yang sentralistis tidak membawa kemajuan yang berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Dalam kasus-kasus tertentu, manajemen sentralistis telah menyebabkan terjadinya kemandulan kreativitas pada satuan pendidikan dan berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Untuk mengatasi terjadinya stagnasi dibidang pendidikan ini diperlukan adanya paradigma baru di bidang pendidikan.
Seiring bergulirnya era otonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi paradigma pendidikan menuju kearah desentralisasi pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikeluarkannya kebijakan mengenai otonomi pendidikan melalui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS bukan sekedar mengubah pendekatan pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS maka akan muncul kemandirian sekolah.
Dalam makalah yang sederhana ini, penulis mencoba menjelaskan tentang pengertian dari Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) itu sendiri, serta apa tujuan dari pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tersebut. Jadi, makalah ini khusus hanya membahas tentang pengertian dan tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah, yaitu sebagai berikut:
1.      Apa pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
2.      Apa saja tujuan dari pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
C.    Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari permasalahan tersebut adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
2.      Untuk mengetahui tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Manajemen Berbasis Sekolah terdiri dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Kata manajemen berasal dari bahasa Inggris “Management” yang berarti ketatalaksanaan, tata pimpinan, pengelolaan,  dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, kata ini diartikan sebagai proses merencanakan dan mengambil keputusan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan sumber daya manusia, keuangan, fisik dan informasi guna mencapai sasaran organisasi dengan cara yang efisien dan efektif atau proses dengan mana pelaksanaan dari pada suatu tujuan tertentu diselenggarakan dan diawasi. Manajemen juga berarti keterampilan dan kemampuan untuk memperoleh hasil melalui kegiatan bersama orang lain dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Kata berbasis adalah akar kata dari kata basis yang berarti dasar, pokok dasar atau pangkalan. Sedang sekolah adalah salah satu institusi manusia terpenting tempat proses belajar mengajar berlangsung. Lembaga ini mengajar anak didik membaca, menulis, dan keterampilan dasar lainnya yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, penulis dapat menarik konklusi bahwa Manajemen Berbasis Sekolah adalah pemberian wewenang kepada sekolah untuk dapat mengelola sumber daya yang terdapat didalamnya secara mandiri dengan melibatkan semua person untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah menurut para ahli, antara lain :
1.      Eman Suparman mengatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah dapat didefinisikan sebagai penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional.
2.      Djam’an satori mengatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah merupakan gagasan yang menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah dalam satu kebutuhan entitas sistem. Didalamnya terkandung adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada sekolah untuk membuat keputusan.
3.      Lunenberg dan Ornstein mengemukakan bahwa MBS merupakan suatu perubahan bagaimana sekolah mengatur kewenangan dan tanggung jaab antara daerah dengan sekolah-sekolah.
4.      Peterson mengartikan MBS sebagai strategi untuk meningkatkan pendidikan melalui pelimpahan wewenang dari pusat dan daerah kepada sekolah secara individual.
5.      Kranz memandang MBS sebagai suatu bentuk desentralisasi yang memposisikan sekolah sebagai unit dasar pengembangan yang bergantung pada redistribusi otoritas pengambilan keputusan.
6.      Puslitbang Pendidikan Agama RI, mengatakan Manajemen Berbasis Sekolah atau dikenal dengan istilah “school based manajemen” adalah model pengelolaan yang memberikan otonomi atau kemandirian kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan pemerintah pusat, provinsi dan pemerintah kabupaten / kota .
7.      Paul Suparno dkk mengartikan MBS sebagai pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua unsur kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah.
B.     Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Menurut E. Mulyasa mengatakan MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respon pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan peningkatan efisiensi diperoleh antara lain melalui keleluasaan pengelolaan sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi sementara peningkatan mutu dapat diperoleh antar lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah di kelas, berlakunya sistem insentif dan disinsentif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu.  Hal ini dimungkinkan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah.
Nurkholis menyebutkan tujuan utama MBS adalah meningkatkan kinerja sekolah dan terutama meningkatkan kinerja belajar siswa menjadi lebih baik . Menurut Tim Pokja MBS Jawa Barat, implementasi MBS memiliki tujuan sebagai berikut:
1.      Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia
2.      Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
3.      Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, sekolah dan pemerintah tentang mutu sekolah.
4.      Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.
Adapun menurut E. Mulyasa, implementasi Manajemen Berbasis sekolah (MBS) bertujuan sebagai peningkatan efisiensi antara lain diperoleh melalui keleluasaan pengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi, peningkatan mutu dapat diperoleh melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, berlakunya sistem intensif dan disensitif, peningkatan pemerataan pendidikan antara lain diperoleh melalui partisipasi masyarakat memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah.

Menurut Kustini Hardi, ada tiga tujuan diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yaitu sebagai berikut:
1.      Mengembangkan kemampuan kepala sekolah bersama guru dan unsur komite sekolah dalam aspek Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) untuk meningkatkan mutu sekolah.
2.      Mengembangkan kemampuan kepala sekolah bersama guru dan unsur komite sekolah dalam pelaksanaan pembelajaran aktif dan menyenangkan, baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat setempat.
3.      Mengembangkan peran serta masyarakat yang lebih aktif dalam masalah umum persekolahan dari unsur komite sekolah dalam membantu peningkatan mutu sekolah.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah peningkatan mutu pendidikan, yaitu dengan memandirikan sekolah untuk mengelola lembaga bersama pihak-pihak terkait (guru, peserta didik, masyarakat, wali murid, dan instansi lain) sehingga sekolah dan masyarakat tidak perlu lagi menunggu instruksi dari atas dalam mengambil langkah-langkah untuk memajukan pendidikan. 


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Manajemen Berbasis Sekolah adalah pemberian wewenang kepada sekolah untuk dapat mengelola sumber daya yang terdapat didalamnya secara mandiri dengan melibatkan semua person untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah peningkatan mutu pendidikan, yaitu dengan memandirikan sekolah untuk mengelola lembaga bersama pihak-pihak terkait (guru, peserta didik, masyarakat, wali murid, dan instansi lain) sehingga sekolah dan masyarakat tidak perlu lagi menunggu instruksi dari atas dalam mengambil langkah-langkah untuk memajukan pendidikan. 

B.     Saran
Penulis menyarankan agar tidak hanya berfokus pada makalah ini saja yang akan dijadikan acuan atau patokan. Tetapi, carilah referensi yang lain kalau perlu sebanyak-banyaknya agar mendapatkan informasi yang banyak pula. Karena semakin banyak informasi yang kita dapat maka semakin banyak pula ilmu yang kita dapat serta dapat membandingkan pendapat satu dengan pendapat lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Azhar. Pokok-pokok Manajemen: Pengetahuan Praktis bagi Pimpinan dan Eksekutif. Cet, II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Hardi, Kustini. Implementasi Konsep MBS di Sekolah, dalam http//:www.batampos.html
Miniarti, Sri. Manajemen Sekolah: Mengelola Lembaga Pendidikan Secara Mandiri. Cet. II; Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2012
Mulyasa, E.. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Rosdakarya, 2004
Mulyono. Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan. Cet. I; Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2008

ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN ILMIAH

ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN ILMIAH


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam
Pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Manajemen Pendidikan Islam
Semester 7 Kelompok 4
DISUSUN OLEH KELOMPOK  II

Danial
NIM: 02133206
Nurpaidah
NIM: 02133092
Rezki Desyanti
NIM: 02133077

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam merupakan agama yang sangat komplek. Sehingga dalam memahaminya pun dibutuhkan cara yang tepat agar dapat tercapai suatu pemahaman yang utuh tentang Islam. Di Indonesia sejak Islam masuk pertama kali sampai saat ini telah timbul berbagai macam pemahaman yang berbeda mengenai Islam. Sehingga dibutuhkanlah penguasaan tentang cara-cara yang di gunakan dalam memehami islam.
Pada dasarnya, agama Islam adalah agama yang merupakan rahmatan lil alamin yaitu rahmat bagi seluruh alam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril untuk disebarkan kepada seluruh umat manusia yang berfungsi untuk menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Namun pada hakikatnya islam itu masih bersifat universal dan masih memerlukan objek pengkajian dan penelitian yang mendalam baik dari sisi agama, sosial dan budaya.
Tapi ironinya sekarang banyak umat islam khususnya para golongan pemuda-pemuda tidak peduli bahkan tidak mau tahu apa saja objek-objek kajian yang mencerminkan karakter islam yang sesungguhnya, bahkan enggan untuk bertindak sesuai apa yang telah diajarkan Nabi Muhammad SAW. Mereka hanya menerima islam tanpa melakukan dan mencari tahu apa saja yang terkandung dalam objek-objek pengkajian dan penelitiannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai islam sebagai objek kajian.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana studi Islam dalam peta kajian ilmiah ?
2.      Bagaimana Islam dijadikan sebagai objek kajian ?
C.    Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam pembahasan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui studi Islam dalam peta kajian ilmiah.
2.      Untuk mengetahui Islam dijadikan sebagai objek kajian.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Studi Islam dalam Peta Kajian Ilmiah
Pembelajaran ilmu agama Islam  berusaha mendudukkan Islam sebagai objek studi yang perlu dikaji dan dianalisis secara analisis kritis-rasional, objektif, historis-empiris dan sosiologis. Mengkaji Islam melalui nalar dan historis empiris terhadap nilai-nilai agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist harus disertai pendekatan keagamaan agar terbangun  sikap dan perilaku yang memiliki  komitmen, konsentrasi dan dedikasi terhadap Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya atas dasar wawasan keilmuan keIslaman yang dimilikinya.
Studi Islam pada peta kajian ilmiah adalah upaya pengkajian Islam dengan menerapkan metode ilmiah,  khususnya  dalam konteks sosial sains. Objek ilmiah studi Islam diistilahkan dengan “Islam pada tiga tingkatan yaitu Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemahaman atau pemikiran dan Islam sebagai pengamalan dalam masyarakat”
Islam sebagai wahyu adalah hal sudah tetap, yakni Islam seperti halnya yang tersebut dalam al-Quran, memahami Islam sebagai wahyu melalui studi tafsir al-Qur’an al-Karim .
Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber yang diakui  sebagai sumber-sumber Islam, seperti al-Quran al-Karim, Hadist, Ijma’ dan lain sebagainya, mengkaji Islam pada tataran ini memberikan ruang untuk mengkaji Islam sebagaimana dipahami oleh masyarakat, seperti “konsep wihdatul wujud dalam Tarikat Naqsyabandiah, atau “syari’ah menurut MUI” dan sebagainya. Kajian Islam sebagai pemahaman akan menyediakan ruang studi yang sangat luas, seluas agama Islam menyebar di dunia.
Sedangkan Islam pada tataran terakhir, yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan ruang kajian ke-Islaman yang sungguh luas. Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada pengamalan adalah aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja suatu pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam pengamalan, atau malah bertentangan dengan fakta. Objek kajian studi Islam ini juga memenuhi persyaratan yang diterapkan kepada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, dapat di observasi, dapat diteliti kembali kebenarannya, dapat diuji intersubjektif dan interdisipliner.
Studi Islam mempunyai kerangka kerja, kerangka teoritis, pembahasan masalah, penyelesaian masalah, inquiry, hipotesis dan kesimpulan. Perangkat langkah-langkah metodologis yang merupakan syarat keilmiahan sebuah kajian telah dipenuhi oleh studi Islam. Studi Islam telah memenuhi syarat-syarat ilmiah artinya studi Islam telah menempati jajaran dan peta kajian-kajian ilmiah lainnya. Diharapkan para pengkaji ke-Islaman bisa mempertahankan keilmiahan kajiannya, hingga Islam bisa dipahami dengan lebih objektif, universal dan humanis. Dari hasil pengamatan  dan kajian peristiwa kehidupan  sebagai laboratorium studi Islam pada gilirannya akan terjadi proses internalisasi nilai-nilai agama keimanan dan akidah untuk selanjutnya dapat menumbuhkan motivasi  dalam diri seseorang  menjalankan dan  mentaati  nilai-nilai dasar agama  yang telah terinternalisasikan  dalam dirinya.
Meski demikian, beberapa kendala menurut beberapa golongan yang mengakibatkan studi-studi ke-Islaman pada beberapa kajian tidak bisa dipandang sebagai ilmiah, dan tentu pendapat mereka itu juga disanggah oleh beberapa golongan lainnya. Seperti studi sastra Islam yang memang juga merupakan problem yang dihadapi oleh studi sastra pada umumnya, misalnya kajian-kajian tentang sastra dipandang tidak bisa mempertahankan keilmiahannya karena tidak bisa melengkapi syarat-syarat keilmiahan intersubjektif .
Selain itu, bagi para pengkaji Islam yang shaleh-shaleh dalam pengertian tradisional dalam beberapa objek terdapat keterasingan dalam mengkaji Islam bila ingin menjadikan kajian tersebut memenuhi syarat ilmiah yang diajukan oleh para sarjanawan ilmu-ilmu lain, seperti sejarah Islam bagi pengkaji muslim, sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari wahyu, bahwa kepintaran dan kebijakan Muhammad tidak semata-semata hasil dari usahanya dalam bermasyarakat akan tetapi juga merupakan bimbingan tuhan. Disinilah persoalan kemudian muncul karena syarat “keilmiahan” sebuah kajian tidak bisa menerima sesuatu tanpa ada sumber yang bisa dibuktikan, khususnya dalam pemahaman sejarawan Barat.
Akan tetapi tentu saja hal ini dapat dibantah karena kerangka dan langkah-langkah metodologi kajian tidak harus sama dengan kajian lainnya. Islam mengakui wahyu, ilham dan intuisi sebagai sumber pengetahuan sementara aliran rasionalis tidak mengakuinya. Aliran rasionalis harus lebih rendah hati dan sadar bahwa mengkaji Islam dalam segala aspeknya tidak akan bisa dilepaskan secara total dari wahyu, agar sebuah kajian keIslaman dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran.
Karena studi Islam berobjek kepada tiga tataran objek kajian yaitu Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemahaman atau pemikiran dan Islam sebagai pengamalan dalam masyarakat, maka dapat diartikan bahwa kebanyakan studi Islam masuk dalam bagian ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. 
B.     Islam Dijadikan Objek Kajian dan Penelitian
Menurut Moh. Nur Hakim bahwa tidak semua aspek agama khususnya islam dapat menjadi objek studi. Dalam konteks khusus studi islam ada beberapa aspek dari islam yang dapat menjadi objek yaitu:
1.      Islam Sebagai Doktrin Agama
Islam sebagai doktrin agama dari Tuhan yang kebenarannya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti absolut dan diterima secara apa adanya.
Agama sebagai elemen yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia dapat dilihat dari dua segi yaitu dari segi isi dan dari segi bentuknya. Dari segi isinya agama adalah ajaran atau wahyu Tuhan yang dengan sendirinya tidak dapat dikategorikan sebagai kebudayaan. Sedangkan dari segi bentuknya, agama dapat dipandang sebagai kebudayaan batin manusia yang mengandung potensi psikologi yang mempengaruhi jalan hidup manusia.
Dengan demikian, yang dapat diteliti adalah pada bentuk atau praktik yang tampak dalam kehidupan sosial yang dipandang sebagai kebudayaan batin manusia.
Penelitian dapat dilakukan pada bentuk pengalaman dari ajaran agama tersebut, misalnya kita dapat meneliti tingkat keimanan dan ketaqwaan yang dianut masyarakat. Selain itu, penelitian agama juga dapat dilakukan dalam upaya menggali ajaran-ajaran agama yang terdapat dalam kitab suci serta kemungkinan aplikasinya sesuai dengan perkembangan zaman.
2.      Islam Sebagai Gejala Budaya
Pada mulanya, ilmu terbagi menjadi dua yaitu ilmu kealaman dan ilmu budaya. Ilmu kealaman, seperti fisika, kimia, biologi dan lain-lain mempunyai tujuan utama mencari hukum-hukum alam, mencari keteraturan-keteraturan yang terjadi pada alam. Sedangkan ilmu budaya mempunyai sifat tidak berulang, tetapi unik. Di dalam kebudayaan terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat, dan sebagainya. Kesemuanya itu selanjutnya digunakan sebagai kerangka acuan oleh seseorang dalam menjawab berbagai masalah yang dihadapinya.
Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyaarakat. Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran. Misalnya, membaca kitab fiqih, maka  fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nash Al-qur’an maupun Hadits sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian, agama menjadi membudaya atau membumi ditengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut, seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.
3.      Islam Sebagai Interaksi Sosial
Membahas tentang realitas umat islam. Contohnya, interaksi antara orang-orang yang beragama islam yang menggunakan norma-norma islam, termasuk penelitian keislaman. Demikian juga pengamatan terhadap para pemeluk islam dalam interaksinya dengan para pemeluk agama lain. Mereka memahami dan mengekspresikan nilai-nilai islam dalam interaksi antarapemeluk agama-agama yang berbeda. Itu semua dapat menjadi sasaran penelitian agama. 
4.      Islam Sebagai Produk Sejarah dan Sasaran Penelitian
Ada bagian islam menjadi produk sejarah. Teologi syi’ah adalah dari wajah islam produk sejarah. Konsep khulafa al- rasyidin adalah produk sejarah, seluruh bangunan sejarah islam klasik, tengah modern adalah produk sejarah. Andaikan islam tidak berkumpul dengan budaya jawa ,sejarahnya  di Indonesia akan lain lagi. Andai kata inggris tidak datang ke India sejarah islam di anak benua itu tidak akan lain lagi. Demikianlah sebagian wajah islam di belahan dunia adalah produk sejarah. Tasawuf dan akhlak sebagai ilmu adalah produk sejarah. Akhlak sebagai nilai  sumber dari wahyu, tetapi sebagai ilmu yang disistematisasi akhlak adalah produk sejarah.
Selain itu, produk islam yang berkembang dan sangat terkenal di nusantara yakni tentang penyebaran islam di pulau jawa oleh para walisongo  yang menggunakan berbagai metode diantaranya pewayangan yang awalnya ceritanya tentang mahabarata agama hindu, setelah islam masuk ceritanya diadopsi ke dalam kancah cermin islam walaupun melalui kiasan dan ada pula yang menggunakan  metode syair atau tembang-tembang jawa yang bernapaskan islam.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.      Islam sebagai wahyu adalah hal sudah tetap, yakni Islam seperti halnya yang tersebut dalam al-Quran, memahami Islam sebagai wahyu melalui studi tafsir al-Qur’an al-Karim . Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber yang diakui  sebagai sumber-sumber Islam, seperti al-Quran al-Karim, Hadist, Ijma’ dan lain sebagainya, mengkaji Islam pada tataran ini memberikan ruang untuk mengkaji Islam sebagaimana dipahami oleh masyarakat. Sedangkan Islam pada tataran terakhir, yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan ruang kajian ke-Islaman yang sungguh luas. Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada pengamalan adalah aktualisasiya pada kehidupan.
2.      Menurut Moh. Nur Hakim bahwa tidak semua aspek agama khususnya islam dapat menjadi objek studi. Dalam konteks khusus studi islam ada beberapa aspek dari islam yang dapat menjadi objek yaitu: Islam Sebagai Doktrin Agama, Islam Sebagai Gejala Budaya, Islam Sebagai Interaksi Sosial, dan Islam Sebagai Produk Sejarah dan Sasaran Penelitian
B.     Saran
Setelah membaca makalah ini, penulis menyarankan agar tidak hanya menjadikan makalah ini sebagai satu-satunya bahan rujuakan, tetapi penulis berharap pembaca juga mencari referensi lain agar pembahasan mengenai islam sebagai objek kajian ilmiah lebih dipahami, karena penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan-kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Hakim, Atang dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012
Anwar, Rosihon, dkk.. Pengantar Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009
Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo, 2009
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.2012

Senin, 31 Oktober 2016

Makalah Perubahan Budaya Organisasi

PERUBAHAN BUDAYA ORGANISASI



Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Manajemen Perubahan
Pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Manajemen Pendidikan Islam
Semester 7 Kelompok 4
DISUSUN OLEH KELOMPOK  II

Danial
NIM: 02133206

Arniati
NIM: 02133076
Nur Alam
NIM: 02133201

Irfan Faisal
NIM: 02133082

Rezki Desyanti
NIM: 02133077

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Budaya Organisasi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan berorganisasi, budaya organisasi dapat mempengaruhi cara orang dalam berperilaku dan harus menjadi patokan dalam setiap program pengembangan organisasi dan kebijakan yang diambil. Hal ini terkait dengan bagaimana budaya itu mempengaruhi organisasi dan bagaimana suatu budaya itu dapat dikelola oleh organisasi. Budaya organisasi mengacu pada hubungan yang unik dari norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan dan cara berperilaku yang menjadi ciri bagaimana kelompok dan individu dalam menyelesaikan sesuatu.
Budaya organisasi merupakan norma-norma dan kebiasaan yang diterima sebagai suatu kebenaran oleh semua orang dalam organisasi. Budaya organisasi tumbuh dari waktu ke waktu. Orang ada yang merasa nyaman dan ada juga yang merasa tidak nyaman dengan budaya organisasi yang baru. Bagi orang yang mempertimbangkan perubahan budaya, biasanya kejadian yang signifikan harus terjadi. Kejadian yang mengguncang dunia mereka, seperti kebangkrutan, kehilangan sales dan konsumen yang signifikan, atau rugi jutaan dollar, akan menarik perhatian banyak orang.
Budaya organisasi tidak selalu tetap dan perlu selalu disesuaikan dengan perkembangan lingkungan agar organisasi tetap survive. Orang yang mendirikan organisasi tidak hanya berharap organisasinya hanya sekedar hidup dan menjalankan kegiatannya, namun juga berharap organisasinya terus tumbuh berkelanjutan (sustainable growth) oleh karenanya Organisasi harus dapat melakukan perubahan -perubahan termasuk perubahan budaya Organisasi yang diharapkan memberikan dampak positif pada kinerja organisasi.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan permasalahan dalam makalah ini, yaitu:
1.      Bagaimana hakikat budaya organisasi ?
2.      Bagaimana perubahan budaya organisasi ?
3.      Bagaimana menguasai perubahan budaya organisasi ?
C.    Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui hakikat budaya organisasi.
2.      Untuk mengetahui perubahan budaya organisasi.
3.      Untuk mengetahui cara menguasai perubahan budaya organisasi.



BAB I
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah cara orang melakukan sesuatu di dalam organisasi. Budaya organisasi merupakan satuan norma yang terdiri dari keyakinan, sikap, cores values, dan pola perilaku yang dilakukan orang dalam organisasi. Keyakinan adalah semua asumsi dan persepsi tentang sesuatu, orang dan organisasi secara keseluruhan, dan diterima sebagai sesuatu yang benar dan sah. Core values adalah nilai-nilai dominan yang diterima di seluruh organisasi, sedangkan pola perilaku adalah cara seseorang bertindak terhadap orang lainnya.[1]
Keberadaan budaya di dalam organisasi atau disebut dengan budaya organisasi yang tidak bisa dilihat oleh mata, tetapi bisa dirasakan. Budaya organisasi itu bisa dirasakan keberadaannya melalui perilaku anggota karyawan di dalam organisasi itu sendiri. Kebudayaan tersebut, memberikan pola, cara-cara berpikir, merasa menanggapi dan menuntun para anggota dalam organisasi. Oleh karena itu, budaya organisasi akan berpengaruh juga terhadap efektif atau tidaknya suatu organisasi.[2]
Budaya organisasi membantu mengarahkan sumber daya manusia pada pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Di samping itu, budaya organisasi akan meningkatkan kekompakan tim antarberbagai departemen, divisi atau unit dalam organisasi, sehingga mampu menjadi perekat yang mengikat orang dalam organisasi bersama-sama.
Budaya organisasi membentuk perilaku staf dengan mendorong percampuran core values dengan perilaku yang diinginkan sehingga memungkinkan organisasi bekerja dengan lebih efisien dan efektif, meningkatkan konsistensi, menyelesaikan konflik dan memfasilitasi koordinasi dan kontrol.[3]
Budaya organisasi itu berhubungan dengan bagaimana karyawan mempersepsikan karakteristik dari budaya organisasi, tidak dengan apakah mereka menyukai budaya itu atau tidak. Jadi, organisasi menyatakan suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi tersebut. Dalam suatu organisasi yang besar memiliki suatu budaya yang dominan dari sejumlah anak budaya.[4]
Budaya organisasi akan meningkatkan motivasi staf dengan memberi mereka perasaan memiliki, loyalitas, kepercayaan dan nilai-nilai, dan mendorong mereka berpikir positif tentang mereka dan organisasi. Dengan demikian, organisasi dapat memaksimalkan kompetensi stafnya dan memenangkan kompetisi. Dengan budaya organisasi, kita dapat memperbaiki perilaku dan motivasi sumber daya manusia sehingga meningkatkan kinerjanya dan pada gilirannya meningkatkan kinerja organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.[5]
Namun, budaya organisasi harus selalu dikembangkan sesuai dengan perkembangan lingkungan. Budaya organisasi yang statis suatu saat akan tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi yang bersifat dinamis sebagai respons terhadap perubahan lingkungan.[6]
B.     Perubahan Budaya Organisasi
1.      Kapan Dilakukan Perubahan
Budaya suatu organisasi sudah saat dilakukan perubahan apabila terhadap dua organisasi atau lebih yang mempunyai latar belakang berbeda bergabung dan timbul konflik berkepanjangan di antara kelompok berbeda mulai merusak kinerja. Atau organisasi dalam cara kerjanya telah menghalangi kesempatan untuk berubah dan melakukan persaingan.
Perubahan budaya organisasi juga diperlukan dalam hal perusahaan bergerak ke dalam industri yang berbeda secara total dan cara dalam menjalankan sesuatu menghambat ketahanan organisasi. Demikian pula jika terjadi keadaan di mana karyawan yang telah terbiasa dengan kenyamanan peningkatan ekonomi, tidak dapat menerima tantangan yang datang dari penurunan ekonomi.
Penelusuran kebutuhan akan perubahan budaya organisasi harus dilakukan sejak awal karena proses perubahan budaya perlu waktu lama untuk menghasilkan. Semakin lama menunggu untuk melakukan proses, akan semakin sulit tugasnya.
Implikasi penundaan budaya organisasi dapat bervariasi, di antaranya adalah: (1) rendahnya moral staf; (2) pergantian staf tinggi;  (3) meningkatnya keluhan pelanggan; (4) kehilangan bisnis dan peluang; (5) rendahnya produktivitas; (6) lambatnya respons terhadap perubahan; (7) rendahnya kinerja perubahan; dan (8) perilaku dan praktik tidak sehat di tempat kerja (Tann, 2002).[7]
Untuk itu, diperlukan langkah-langkah berikut untuk menuju perubahan organisasi.
a.       Visi yang jelas dan arah yang strategis
Peran pertama pemimpin dalam organisasi adalah menetapkan visi yang jelas dan arah strategis bagi organisasi. Visi dan arah strategis memungkinkan perusahaan bersaing dan melanjutkan kinerja jangka panjang. Hal tersebut membantu perusahaan menentukan ke mana memfokuskan sumber daya dan ke mana yang dapat memberikan penghasilan maksimum.
b.      Pengukuran kinerja yang jelas
Mempunyai visi yang jelas dan arah yang strategis pasti sangat penting, namun belum cukup. Kebanyakan perusahaan berhenti untuk menerjemahkan visi dan rencana strategis ke dalam hasil yang terukur dari berbagai divisi, departemen atau unit bisnis strategis. Langkah mengembangkan budaya berorientasi prestasi dimulai dengan mendapatkan pemimpin divisi dan departemen mendiskusikan secara terbuka hasil yang diharapkan dengan satuan yang dapat diukur. Indikator kinerja perlu ditetapkan untuk setiap action plan untuk mendukung rencana strategis menyeluryh, dan hal ini harus disetujui bersama oleh pemimpin dan anak buahnya.
c.       Tindak lanjut pencapaian tujuan
Kecenderungan manusia adalah merasa puas dengan dirinya sendiri. Dari perspektif psikologis, orang termotivasi oleh kesenangan, atau menghindari kepusingan. Tanpa menindaklanjuti hasil dan memberikan tekanan pada non-kinerja, motivasi untuk menghindari kepusingan dikurangi. Hal ini mendorong orang mengembangkan zona nyaman. Menindaklanjuti pencapaian tujuan merupakan satu cara mengurangi perasaan puas terhadap dirinya sendiri di tempat pekerjaan.[8]
d.      Menghargai kinerja secara adil
Cara yang paling pasti untuk mematikan dorongan terhadap  prestasi kerja adalah dengan memberikan reward kepada orang secara tidak adil. Memberi penghargaan yang sama kepada setiap staf, terlepas dari kinerja atau jasa yang telah diberikan adalah merupakan tindakan ketidakadilan. Sekarang masih banyak pemimpin melakukannya sehingga menimbulkan ketidaknyamanan.
e.       Lingkungan kerja terbuka dan transparan
Lingkungan kerja yang bersifat terbuka di mana pekerja dapat membagi informasi dan pengetahuan dengan bebas akan memfasilitasi pencapaian tujuan organisasi. 80% masalah dalam organisasi berhubungan dengan komunikasi, atau kurangnya komunikasi. Oleh karena itu, salah pengertian, salah persepsi atau salah interpretasi muncul karena orang tidak mengkomunikasikan alasannya untuk melakukan sesuatu.
f.       Menghapus politik tidak sehat
Politik perusahaan menghalangi pengembangan hubungan saling mempercayai di antara manusia. Praktik tidak sehat dalam bentuk favoritisme, kronisme, desas-desus dan kelicikan berlanjut sampai manajer atau leader mengembangkan profesionalisme dalam mengelola sumber daya manusia.
Untuk melawan politik internal perusahaan, organisasi harus mulai mengembangkan lingkungan kerja yang terbuka, memperoleh ketidaksetujuan, memfokuskan pada tujuan dan meningkatkan harmoni tim. Kritik konstruktif dipergunakan sebagai alat yang tepat untuk memperbaiki sesuatu, bukan sebagai senjata untuk menjatuhkan orang lain. Hal ini hanya dapat dicapai dengan menghilangkan ketakutan di tempat pekerjaan.
g.      Tim spirit yang kuat
Dalam mengembangkan budaya kerja produktif, tidak ada pengganti yang lebih baik daripada menanamkan tim spirit yang kuat pada manusia. Untuk melakukan hal itu, orang harus berkomitmen terhadap kepercayaan bersama. Cara terbaik untuk menumbuhkan kepercayaan bersama adalah dengan menetapkan core values yang dapat diterima dan dihargai secara universal karena dapat memenuhi kepentingan organisasi maupun individu.[9]
C.    Menguasai Perubahan Budaya Organisasi
Banyak organisasi yang melewati jalan yang salah dalam mencari perubahan budaya organisasi. Hal ini dapat menyebabkan inisiatif untuk melakukan perubahan budaya organisasi gagal atau tidak dapat dilanjutkan. Tidak mengherankan apabila banyak pemimpin terhadap kemungkinan melakukan perubahan organisasi.
Budaya organisasi dapat dibuat dan diubah. Banyak aspek dan pelajaran dapat diperoleh dari usaha perubahan budaya organisasi, di antaranya sebagai berikut:
1.      Perubahan budaya organisasi yang efektif harus dimulai dengan perubahan pola pikir.
2.      Organisasi yang sukses mempunyai budaya organisasi yang sejalan dengan visi, misi, strategi, tujuan, dan lingkungan.
3.      Untuk mencapai kredibilitas dan memperoleh komitmen orang, kebijakan, prosedur, dan praktik harus konsisten dan budaya baru.
4.      Untuk mendapatkan kembali budaya organisasi yang baik, diperlukan rasionalitas yang kuat.
5.      Untuk memastikan terjadinya asimilasi budaya di seluruh organisasi, program perubahan budaya harus memanfaatkan berbagai mekanisme transmisi budaya.
6.      Untuk mencapai perubahan budaya yang mendalam dan berkelanjutan, diperlukan pendekatan partisipatif.
7.      Komitmen dari pimpinan puncak adalah sangat penting untuk keberhasilan perubahan budaya.
8.      Untuk mempercepat perubahan budaya, perlu melibatkan opinion leader.
9.      Perlu diciptakan mimpi yang kuat dari budaya baru.
10.  Kenali dan perkuat keberhasilan perubahan lebih dini dan sering.[10]
Hal terpenting yang harus diingat dalam melaksanakan perubahan budaya organisasi adalah:
1.      Dimensi struktural (budaya yang akan dirubah); Tujuannya bukan hanya sekedar mengetahui budaya yang ada tetapi juga agar pelaku perubahan bisa belajar tentang pola pikir organisasi dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
2.      Dimensi ruang dan waktu (asal muasal terbentuknya budaya dan perjalanannya sepanjang waktu); Tujuannya agar dalam perubahan budaya tidak terjadi kesalahan yang sama di masa datang.
3.      Dimensi proses perubahan (posisi budaya dalam siklus kehidupan budaya)
4.      Dimensi kontekstual (situasi lingkungan di mana budaya berada)
5.      Dimensi subyektif (tujuan dan keterlibatan orang per orang dalam perubahan)
6.      Daya tahan yaitu kemampuan untuk menciptakan perubahan yang hasilnya bisa tahan lama.[11]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dari makalah di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan, yaitu:
1.       Budaya organisasi adalah cara orang melakukan sesuatu di dalam organisasi. Budaya organisasi merupakan satuan norma yang terdiri dari keyakinan, sikap, cores values, dan pola perilaku yang dilakukan orang dalam organisasi.
2.      Budaya suatu organisasi sudah saat dilakukan perubahan apabila terhadap dua organisasi atau lebih yang mempunyai latar belakang berbeda bergabung dan timbul konflik berkepanjangan di antara kelompok berbeda mulai merusak kinerja. Atau organisasi dalam cara kerjanya telah menghalangi kesempatan untuk berubah dan melakukan persaingan.
3.      Banyak organisasi yang melewati jalan yang salah dalam mencari perubahan budaya organisasi. Hal ini dapat menyebabkan inisiatif untuk melakukan perubahan budaya organisasi gagal atau tidak dapat dilanjutkan. Tidak mengherankan apabila banyak pemimpin terhadap kemungkinan melakukan perubahan organisasi.
B.     Saran
Setelah membaca makalah ini, penulis menyarankan agar mencari referensi lain yang berhubungan dengan perubahan budaya organisasi, karena penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat berbagai kekurangan karena disebabkan kurangnya referensi yang digunakan.
DAFTAR RUJUKAN
Rivai, Veithzal. Kepemimpinan dan Perilaku Organisas, Ed. I. Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003
Sulistyorini. Manajemen Pendidikan Islam: Konsep, Strategi dan Aplikasi.  Cet. IX; Yogyakarta: Teras, 2009
Syahputri, Oktaria. Makalah Perubahan Budaya Organisasi. Diakses dalam http://makalahperubahanbudaya.blogspot.co.id/2014/11/perubahan-budaya-organisasi.html pada tanggal 15 Oktober 2016
Wibowo. Manajemen Perubahan, Ed. III. Cet. V; Jakarta: Rajawali Pers, 2016